Dari MAI ke DDI

Pondok Pesantren DDI Mangkoso. Foto laduni.id

Gurutta H.Abdurahman Ambo Dalle’dari Sengkang ke Mangkoso
Di antara murid-murid angkatan pertama Anre Gurutta (AG) H.M.As’ad adalah Anre Gurutta H. Abdurrohman Ambo Dalle.

Ia menggabungkan diri pada pengajian yang diasuh oleh Anre Gurutta H.M.As’ad segera setelah terbukanya pengajian itu. Setelah menguji kecerdasannya, Anre Gurutta H.M.As’ad mengakui kalau ilmu muridnya itu sudah setaraf dengan gurunya.

Bahkan ketika Anre Gurutta H.M.As’ad mendirikan madrasah Arabiyah islamiyah, ia diserahi tugas memimpin madrasah itu. Ia mengupayakan agar di tempatnya didirikan lembaga pendidikan yang sama dengan MAI sengkang dan meminta Anre Gurutta H. Abdurahman Ambo Dalle.

Kerajaan Soppeng Riaja dan kelahiran MAI Mangkoso
Petta Soppeng mengirim utusan yang dipimpin oleh H. Kittab, Kadhi Soppeng Riaja, untuk membawa permohonan agar Anregurutta H. M. As’ad mengizinkan Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk membuka dan memimpin MAI di Mangkoso.

Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Harunarrasyid Sengkang, Gurutta M. Amberi Said, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah.Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd. Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir.

 MAI dalam masa penjajahan
Jepang mendarat di Makassar pada tanggal 9 Februari 1942. Saat itu masuknya penjajah baru ini membuat proses belajar mengajar terganggu.

Kaca daun pintu dan jendela mesjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya tidak tembus ke luar. Bahkan dalam suasana seperti itu MAI Mangkoso membuka lagi satu tingkatan, yaitu Alimiyah pada tahun 1944.

Demikianlah keadaannya sampai Jepang menyerah pada sekutu pada pertengahan tahun 1945.

MAI dalam Masa Westerling
Dua orang bangsawan, Andi Pangeran Pettarani dan Andi Sultan Daeng Radja, sangat besar peranannya dalam menyebarkan berita kemerdekaan.

Berita kemerdekaan itu disambut dengan berbagai sikap, tetapi pada umumnya rakyat memberi dukungan. Ketika Belanda yang membonceng pada tentara sekutu mulai melakukan tindakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya, rakyat Sulawesi Selatan mengorganisasikan diri melakukan perlawanan.

Perlawanan rakyat turut digerakkan oleh dukungan raja-raja dan para bangsawan seperti Raja Bone Andi Mappanyukki, Raja Luwu Andi Jemma dan Datu Suppa Andi Abdullah Bau Massepe.

Untuk menghadapi perlawanan rakyat tersebut pasukan Westerling meningkatkan aksi kekerasan. Terjadilah pembantaian dan pembunuhan di berbagai daerah terhadap rakyat yang dituduh ekstremis di bawah komando kapten Westerling.

DDI dan Musyawara Alim ulama se Sulawesi Selatan
Musyawarah dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 5 Februari 1947 M atau 14 Rabiul awal 1366 H yang dihadiri oleh sejumlah ulama (Khadi) dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan.

Hasil pertemuan itu adalah terbentuknya organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemasyarakatan yang diberi nama Darud dakwah Wal Irsyad (DDI) dengan Anre Gurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle sebagai Ketua umumnya dengan salah satu pertimbangan karena beliau sudah memiliki jaringan ke daerah-daerah sebagai pimpinan MAI Mangkoso.

DDI dalam Masa Pemberontakan DI/TII
Kemerdekaan yang telah diperoleh bangsa Indonesia ternyata tidak langsung membawa ketenteraman dan kesejahteraan bagi rakyat, sehingga menimbulkan pergolakan dan pemberontakan di berbagai tempat dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Penculikan terhadap Anre Gurutta H.Abdurahman Ambo Dalle. Saat berada kembali di tengah-tengah warga DDI, Anre Gurutta segera melakukan konsolidasi organisasi dengan mengadakan musyawarah pendidikan pengurus besar DDI di mangkoso dan mendirikan perguruan tinggi DDI yg diberi nama universitas Islam DDI dengan Anre Gurutta H. Abdurahman Ambo Dalle.

Struktur dan Perkembangan DDI dari Masa ke Masa
Pertemuan itu membicarakan pengintegrasian MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya ke dalam organisasi DDI. Selain itu,MAI Mangkoso sudah memiliki hubungan komunikasi dengan cabang-cabang di daerah sehingga memudahkan sosialisasi penggunaan DDI sebagai pengganti MAI.

Sebelumnya, pada periode MAI hubungan antar pusat dan cabang lebih bersifat personal dari pada mengajar pada cabang-cabang MAI di daerah adalah santri-santri MAI mangkoso yang bertugas secara periodik.

Pola penyebaran DDI
Abu Hamid, guru besar antropologi budaya fakultas ilmu sosial dan politik Universitas Hasanuddin Makassar, migrasi atau perantauan besar-besaran orang Bugis terjadi dalam tiga gelombang.

Gelombang pertama pada abad ke-17 ketika terjadi peperangan antara Kerajaan Gowa dan Bone yang berujung pada lainnya Perjanjian Bungaya. Gelombang kedua pada abad ke-19 Ketika Belanda memaksakan untuk memperbarui Perjanjian Bungaya yang ternyata ditolak oleh Raja Bone. sedangkan gelombang ketiga terjadi antara tahun 1950 dan 1965 akibat pemberontakan DI/TII.

———————–

Anggota Kelompok

  1. St. Masyita: 0229210002
  2. Firman: 0229210024
  3. Sarmiyanti: 0229210018
  4. Muh. As’ad. M: 0229210039
  5. Nurul Wahyuni: 0229210004
  6. Muh. Fakhrul Imran: 0229210020
  7. Muh. Agung: 0229210036